Aku selalu merasa was was kalo
sedang berduaan dengan Udin, sopir sekaligus asisten suamiku. Soalnya tatapan
matanya bikin aku merinding. Mesum seolah mau menerkam. Udin dibawa suamiku
dari perkebunan kami di luar kota. Suamiku membeli sebidang tanah utk perkebunan
kelapa sawit sekitar 5 tahun lalu. Udin, penduduk asli daerah itu, awalnya
buruh harian di kebun kami. Mungkin karena kerjanya bagus atau bagaimana,
suamiku menaikkan jabatannya di perkebunan sampai akhirnya menjadi semacam
asisten pribadinya. Ya menyopiri dan mempersiapkan segala sesuatunya selama di
perkebunan. Terakhir, suamiku sering membawanya kerumah.
Aku memang tidak begitu heran
kalo ada pria yang memandangku penuh nafsu. Tubuhku sintal dan montok. Dadaku
membusung, pantatku membulat indah, kulit putih mulus bagai pualam, dengan
tinggi badan 163 cm, aku sering menjadi tumpuan imajinasi para pria. Walaupun
mereka tidak mengatakannya tapi dari lirikan penuh birahi, aku tau apa yg ada
di benak mereka.
Masalahnya, tatapan birahi para
pria itu kudapat jika sedang berada di mall, mini market bahkan di sekolahan
ketika sedang mengantar atau menjemput anakku. Ada jarak yang nyaman sehingga
aku tidak begitu risi. Satu dua orang sih mencoba berkenalan namun karena
sikapku terjaga dan terukur, para pria segan bersikap sembarangan kepadaku.
Lainnya halnya dengan Udin,
asisten suamiku, dia ada di rumahku sendiri. Dengan jarak yang begitu dekat,
kadang jarak zona amanku terasa didesak.
Jika sedang di rumah, Udin
menginap di kamar belakang, sebelahan dengan kamar Surti dan Ijah, pembantu
yang mengurus segala keperluan rumah tangga kami. Oh iya, namaku Rina, ibu
rumah tangga dengan dua orang anak gadis yang sudah berangkat remaja. Saat ini
aku sudah berumur 35 tahun. Suamiku 40 tahun. Kami kawin muda, saat umurku
masih 20 tahun.
Putri sulungku, Winda, gadis
remaja 14 tahun, sekarang duduk di bangku kelas III SMP. DIa mewarisi
kecantikanku. Walaupun masih remaja, tapi perkembangan tubuhnya sudah
memperlihatkan bahwa nantinya dia akan mewarisi keseksian ibunya. Sedang
adiknya, Desi, berumur 12 tahun, masih kelas VI SD. Kulitnya pun sama dengan
Ibu dan kakanya, putih mulus. Tapi karena masih kecil, bentuk tubuhnya belum
berkembang.
Keluarga kami lumayan berada.
Tadinya suamiku bekerja sebagai manejer di sebuah perusahaan, sampai akhirnya
memutuskan utk membuka usaha sendiri, menjadi pengusaha perkebunan ..
Kembali pada Udin, awalnya,
orangnya cukup sopan dan santun. Tutur katanya terjaga, kesannya kalem. Tapi,
tatapannya itu lho? Apalagi kalo aku sedang pake daster tipis, mungkin
menerawang atau bagaimana, maka sinar matanya menjadi tajam seolah berusaha
menembus ke dalam ..
Sekilas, kuperhatikan matanya
juga akan berkilat jika melihat Surti atau Ijah jika kebetulan saat kerja
roknya sedikit tersingkap atau pas menunduk payudaranya mengintip. Sepertinya
Udin tidak pernah melewatkan bahkan menunggu momen momen sepersekian detik itu
..
Kedua pembantuku itu, walaupun
berasal dari udik, tapi mempunyai kecantikan khas. Surti berkulit putih dan
lumayan mulus. Buah dadanya membusung dan dengan kesukaannya memakai celana
pendek makanya kakinya yg putih mulus itu akan membuat mata lelaki sedikit
melotot.
Sedangkan Ijah berkulit kuning
langsat. Jika sedang ketawa maka lesung pipit akan menghiasi pipinya. Buah
dadanya tidak begitu menonjol namun lekukan pinggang dan pantatnya serta batang
paha yang membulat, membuat para lelaki akan menatapnya berlama lama. Tubuhnya
montok dan sintal ..
Udin, menurut suamiku, berumur 30
tahun, kawin dengan janda beranak satu, seorang gadis remaja sepantaran Winda.
Dari perkawinannya sendiri mereka belum punya anak. Filingku, Udin ini termasuk
laki laki dengan libido tinggi. Secara umum, Udin adalah laki laki yg biasa
biasa saja. Badannya memang kekar, tipikal pria yang bekerja menggunakan fisik.
Hidungnya pesek dan bibirnya sedikit tebal. Secara umum dia tidak begitu
menarik. Entah apa yang membuat suamiku menjadikannya semacam aspri.
Terkadang aku merasa kesal karena
Udin terus menerus menatapku dengan pandangan mesumnya. Tapi, sesekali muncul
pikiran gila di otakku. Bagaimana rasanya digumuli lelaki kasar seperti Udin?
Soalnya suamiku orangnya lembut, terlalu lembut malah. Walaupun kehidupan seks
kami termasuk normal, namun diam diam aku menyimpan fantasi sendiri.
Dan fantasiku semakin menjadi jadi
tatkala semenjak membuka usaha perkebunan, suamiku mencurahkan seluruh waktu,
tenaga dan perhatiannya di perkebunan. Aku merasa diabaikan. Memang, dari segi
financial tidak ada yang perlu dikeluhkan. Namun sebagai wanita dewasa dengan
libido yang tinggi, aku butuh pelampiasan lebih ..
Aku jarang ikut suamiku ke
perkebunannya. Biasanya dia berangkat Senin pulang Rabu. Lalu, Jumat berangkat
lagi pulang Sabtu. Udin Selalu
mendampinginya hampir setiap saat, kecuali kalo Sabtu, suamiku pulang nyetir sendiri,
karena Udin tinggal utk berkumpul dengan keluarganya di hari Minggu. Hari
Senin, suamiku akan ke perkebunan nyetir sendiri, selanjutnya bagian sopir
menyopir akan diambil alih Udin selama minggu itu ..
Malam ini, Udin sedang tidur di
kamar belakang, di samping kamar Surti dan Ijah. Kamar utama ada di ruang depan
sementara kedua putriku kamarnya di atas. Sekita jam 1 dini hari, aku merasa
haus lalu beranjak untuk mengambil minum ke dapur.
Pas mengambil minum, sepintas aku
melihat lorong menuju kamar pembantuku sedikit terang. Berarti mereka belum
matiin lampu kamarnya. Biasanya mereka kalo tidur matiin lampu. Tapi, ada apa
sampai dini hari begini belum tidur?
Penasaran aku berjalan perlahan
ke lorong. Ternyata, lampu itu berasal dari kamar Udin, pintu kamarnya sedikit
terbuka. Mungkin dia kepanasan atau bagaimana, pikirku sambil berlalu. Tapi,
langkahku sontak tertahan ketika mendengar suara desisan. Walaupun pelan, tapi
di tengah kesunyian malam, suara itu terdengar. Aku menajamkan telinga,
sekarang bukan hanya suara desisan, juga suara dengusan nafas dan derit tempat
tidur.
Jantungku berdebar. Secara
intuisi aku seolah bisa meraba apa yang sedang terjadi di kamar itu. Tapi,
siapa dengan siapa? Dengan mengendap, aku mendekati pintu kamar yang sedikit
terbuka, lalu menjulurkan kepala utk melihat apa yang terjadi di kamar itu ..
Dan aku terperanjat. Di ranjang,
dengan jelas terpampang pemandangan yg membuatku sangat terkejut. Nampak Surti
digumuli oleh Udin dengan buasnya. Udin sedang menggenjot selangkangan Surti
dengan liar. Surti nampak merem melek sambil mengangkangkan kedua belah
pahanya.
Tangannya kadang menggusal rambut Udin kadang mencakar punggungnya.
Surti mengerang keenakan sedang
Udin mendengus sambil terus menggoyang pinggulnya, menghunjam selangkangan
Surti yang terbuka lebar. Mulutnya menghujani Surti dengan ciuman dan isapan.
Kadang mengisap bahkan menggigit buah dada Surti yang membusung, kadang
mengisap lehernya dilanjut dengan melumat bibir Surti. Udin melakukannya dengan
gerakan cepat menjurus liar. Sepintas seolah Udin sedang memperkosa Surti.
Warna kulit mereka kontras, Udin
yang coklat legam sementara tubuh Surti yang putih mulus, membuat pemandangan
itu seketika mengundang birahiku ..
Aku tertegun melihat tontonan
itu, ada sedikit rasa marah karena mereka telah berani berbuat mesum di
rumahku, tapi, rasa hangat yang menjalari tubuhku lebih dominan, sehingga aku
membiarkannya saja. Alih alih menegor, sekarang aku malah menonton pertunjukan
itu dengan penuh gairah.
Tiba tiba Udin mengerang, tangannya
meremas paha putih Surti sambil menekan pinggulnya kuat kuat. Mungkin dia sudah
diujung kenikmatannya. Surti pun tidak mau kalah, kakinya semakin dibuka sambil
menaikkan pantatnya menyambut ejakulasi Bejo. Persis di puncak kenikmatannya,
Udin yang menggoyang goyang kepalanya tiba tiba melihat bayanganku. Mata kami
saling menatap ..
Sesaat aku melihat kilat
keterkejutan di matanya. Namun kenikmatan yang sedang di puncak membuat mata
sayu, lalu, sambil terus memandangku, dia menggeram menumpahkan maninya ke
rahim Surti.
Ekspresi wajahnya seolah
mengatakan bahwa walaupun kehadiranku begitu mengejutkannya, namun kenikmatan
yg hampir mencapai puncaknya tidak boleh batal. Tuntaskan dulu, nanti persoalan
liat nanti aja ..
Sebentar kemudian, kepala Udin
terkulai di pundak Surti, tapi pandangannya tidak pernah dilepaskan dariku.
Seolah terbebas dari hipnotis, tiba tiba aku berbalik lalu melangkah buru buru
ke kamarku. Kulihat suamiku masih pulas. Pelahan aku membaringkan tubuh di
sampingnya. Perasaanku campur aduk, lalu kupejamkan mata untuk menahan gemuruh
perasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya ..
………………………………..
Paginya, seperti biasa aku
mempersiapkan perlengkapan sekolah kedua putriku. Suamiku menyalakan mobil
bersiap mengantar. Setiap ada waktu, suamiku akan mengantar sendiri kedua buah
hati kami ke sekolah. Surti sedang memasak di dapur sedang Ijah Nampak membereskan
ruangan di lantai dua. Bejo entah dimana ..
Persis ketika mobil yang disetir
suamiku menghilang, aku berbalik bermaksud masuk. Dan, kulihat Udin sedang
menatapku dari ruang tengah. Ketika aku lewat di sampingnya, tiba tiba dia
berbisik,
“Bu, maafkan yang semalam ya.”
Sebenarnya aku hendak marah, tapi
entah mengapa aku malah membalas bisikannya, “Kamu kan sudah punya istri,
kenapa masih menggauli Surti? Kalo dia hamil bagaimana? Dia juga punya suami di
kampung?”
“Kami bisa menjaganya Bu, Surti
tidak sedang masa subur,” ujar Udin pelan.
Sambil memperlambat langkah, aku
kembali bertanya, “Sudah berapa lami kalian melakukan itu?”
“Baru dua minggu belakangan ini
Bu,” jawab Udin.
Aku tidak tau mau mengatakan apa
lagi, sambil melengos aku beranjak ke dapur untuk melihat masakan Surti. Tak
lama, terdengar hp ku berdering, ternyata suamiku. “Ma, aku sekalian liat bibit
dulu bentar, mungkin sejam lagi aku balik ya?”
Setelah berbicara beberapa hal,
suamiku mematikan hp nya. Aku bermaksud kembali ke dapur. Eh, tadi Udin kemana
ya? Aku melongok ke garasi, mungkin dia sedang mempersiapkan sesuatu disana.
Dia tidak ada ..
Aku kembali merasa penasaran.
Kemana anak itu? Apa dia ke atas? Tapi dia tidak pernah kesana, karena kamar
atas adalah kekuasaan kedua putriku. Tapi, seolah memastikan, aku naik juga ke
lantai dua. Dan apa yang kusaksikan disana membuatku terperanjat ..
Nampak Ijah membungkuk, kedua
tangannya bersandar ke kursi. Dia masih pake tshirt, tapi bagian bawahnya sudah
tidak memakai apa apa lagi. Sepasang kakinya yang bulat berwarna kuning langsat
direntangkan dan .., dari belakang Udin sibuk menggenjot! Udin juga masih pakai
kaos tapi tidak pake celana. Kedua tangannya mencengkeram pinggul Ijah, lalu
memompa kemaluan Ijah dari belakang.
“Bajingan!” Rutukku dalam hati.
Rumahku ternyata sudah seperti tempat mesum, semalam di kamar belakang sekarang
malah di ruangan kedua putriku. Tapi, gerakan gerakan Udin yang bertenaga
memompa Ijah dari belakang membuatku terbelalak dan seolah melupakan kemarahan
dan makian yang hampir kulontarkan.
Pemandangan ini begitu
merangsang, Nampak Ijah tidak hanya menyandarkan tangannya, juga meletakkan
kepalanya di sandaran kursi. Sepertinya posisi itu membuat tenaganya terkuras.
Tapi Udin menahan Ijah tetap berdiri dengan mencengkeram pinggulnya, sesekali
menampar dan meremas pantat Ijah, sementara hunjaman kemaluan Udin yang
ternyata besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepat ..
Bokong Ijah memang besar dan
seksi. Pantat dan pangkal pahanya benar benar montok dan kenyal. Ijah terpental
pental ke depan menahan kebuasan sodokan Udin. Sesekali tangan Udin menyelusup
ke dalam kaos Ijah, meremas remas susunya.
Ijah hanya bisa merintih panjang pendek diamuk luapan birahi Udin.
Baru sekarang aku melihat kontol
Udin yang besar dan panjang. Semalam tidak begitu terlihat, mungkin karena
posisinya yang menindih sementara Surti mengaitkan kedua pahanya ke pinggang Udin ..
Udin melenguh panjang sambil
menggelengkan kepalanya dan .., kembali kedua mata kami bertaut! Kali ini tidak
ada sinar keterkejutan di matanya. Seolah kehadiranku sudah diduganya dan dia
telah siap dengan situasi ini.
Kembali aku membalikkan tubuh dan
turun dengan buru buru dari atas. Nafasku terengah, ini sudah keterlaluan,
umpatku dalam hati. Aku terduduk di ruang tamu, otakku seperti mampet, tidak
tau mau berbuat apa. Mestinya sih aku harus melaporkan ini kepada suamiku, tapi
entah kenapa opsi itu tidak terlintas sedikitpun di kepalaku. Yang ada malah
aku pusing sendiri ..
Tak lama kemudian, kulihat
bayangan Udin menuruni tangga. Bukannya berjalan kearah garasi atau dapur, dia
malah melewatiku seperti hendak ke teras. Pas di dekatku dia kembali berbisik,
“Maafkan aku Bu, aku sudah berusah cepat cepat dan buru buru, tapi Ibu masih
menangkap basah kami,” bisiknya pelan ..
“Kau sudah kelewatan, semalam kau
sudah menodai rumah ini, sekarang malah melakukannya di ruang ke dua putriku,”
entah kenapa, aku juga berbicara setengah berbisik ..
“Maafin aku Bu, tadi Ijah minta
tolong dibawain air seember buat ngepel. Pas di atas kami konak. Sudah berusaha
cepat biar tidak ketahuan, tapi Ibu keburu naik,” balasnya dengan pelan.
Aku menghela nafas, diam diam tak
habis fikir. Kenapa aku tidak bisa marah?
“Ijah juga sudah punya suami di
kampung,” tukasku pelan.
“Saya tau Bu, Ijah juga sedang
tidak masa subur,” timpalnya.
“Kalo suamiku sampai tau, kalian
bisa gawat,” akhirnya keluar juga kata yg sedikit mengancam.
“Makanya aku minta maaf kepada
Ibu, tolong jangan dikasih tau,” pintanya.
“Kamu sudah berapa lama dengan
Ijah?” tanyaku tanpa merespon permintaannya.
“Sama dengan Surti, baru dua
minggu ini Bu,” akunya.
“Sudah, pergi sana, jangan sampai
Surti dan Ijah melihat kita mengobrok disini,” usirku.
Udin mengangguk sambil cepat
cepat berlalu dari hadapanku.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar