Minggu, 14 September 2014

Budak Nafsu 1

Aku selalu merasa was was kalo sedang berduaan dengan Udin, sopir sekaligus asisten suamiku. Soalnya tatapan matanya bikin aku merinding. Mesum seolah mau menerkam. Udin dibawa suamiku dari perkebunan kami di luar kota. Suamiku membeli sebidang tanah utk perkebunan kelapa sawit sekitar 5 tahun lalu. Udin, penduduk asli daerah itu, awalnya buruh harian di kebun kami. Mungkin karena kerjanya bagus atau bagaimana, suamiku menaikkan jabatannya di perkebunan sampai akhirnya menjadi semacam asisten pribadinya. Ya menyopiri dan mempersiapkan segala sesuatunya selama di perkebunan. Terakhir, suamiku sering membawanya kerumah.

Aku memang tidak begitu heran kalo ada pria yang memandangku penuh nafsu. Tubuhku sintal dan montok. Dadaku membusung, pantatku membulat indah, kulit putih mulus bagai pualam, dengan tinggi badan 163 cm, aku sering menjadi tumpuan imajinasi para pria. Walaupun mereka tidak mengatakannya tapi dari lirikan penuh birahi, aku tau apa yg ada di benak mereka.

Masalahnya, tatapan birahi para pria itu kudapat jika sedang berada di mall, mini market bahkan di sekolahan ketika sedang mengantar atau menjemput anakku. Ada jarak yang nyaman sehingga aku tidak begitu risi. Satu dua orang sih mencoba berkenalan namun karena sikapku terjaga dan terukur, para pria segan bersikap sembarangan kepadaku.

Lainnya halnya dengan Udin, asisten suamiku, dia ada di rumahku sendiri. Dengan jarak yang begitu dekat, kadang jarak zona amanku terasa didesak.

Jika sedang di rumah, Udin menginap di kamar belakang, sebelahan dengan kamar Surti dan Ijah, pembantu yang mengurus segala keperluan rumah tangga kami. Oh iya, namaku Rina, ibu rumah tangga dengan dua orang anak gadis yang sudah berangkat remaja. Saat ini aku sudah berumur 35 tahun. Suamiku 40 tahun. Kami kawin muda, saat umurku masih 20 tahun.

Putri sulungku, Winda, gadis remaja 14 tahun, sekarang duduk di bangku kelas III SMP. DIa mewarisi kecantikanku. Walaupun masih remaja, tapi perkembangan tubuhnya sudah memperlihatkan bahwa nantinya dia akan mewarisi keseksian ibunya. Sedang adiknya, Desi, berumur 12 tahun, masih kelas VI SD. Kulitnya pun sama dengan Ibu dan kakanya, putih mulus. Tapi karena masih kecil, bentuk tubuhnya belum berkembang.

Keluarga kami lumayan berada. Tadinya suamiku bekerja sebagai manejer di sebuah perusahaan, sampai akhirnya memutuskan utk membuka usaha sendiri, menjadi pengusaha perkebunan ..

Kembali pada Udin, awalnya, orangnya cukup sopan dan santun. Tutur katanya terjaga, kesannya kalem. Tapi, tatapannya itu lho? Apalagi kalo aku sedang pake daster tipis, mungkin menerawang atau bagaimana, maka sinar matanya menjadi tajam seolah berusaha menembus ke dalam ..

Sekilas, kuperhatikan matanya juga akan berkilat jika melihat Surti atau Ijah jika kebetulan saat kerja roknya sedikit tersingkap atau pas menunduk payudaranya mengintip. Sepertinya Udin tidak pernah melewatkan bahkan menunggu momen momen sepersekian detik itu ..

Kedua pembantuku itu, walaupun berasal dari udik, tapi mempunyai kecantikan khas. Surti berkulit putih dan lumayan mulus. Buah dadanya membusung dan dengan kesukaannya memakai celana pendek makanya kakinya yg putih mulus itu akan membuat mata lelaki sedikit melotot.

Sedangkan Ijah berkulit kuning langsat. Jika sedang ketawa maka lesung pipit akan menghiasi pipinya. Buah dadanya tidak begitu menonjol namun lekukan pinggang dan pantatnya serta batang paha yang membulat, membuat para lelaki akan menatapnya berlama lama. Tubuhnya montok dan sintal ..

Udin, menurut suamiku, berumur 30 tahun, kawin dengan janda beranak satu, seorang gadis remaja sepantaran Winda. Dari perkawinannya sendiri mereka belum punya anak. Filingku, Udin ini termasuk laki laki dengan libido tinggi. Secara umum, Udin adalah laki laki yg biasa biasa saja. Badannya memang kekar, tipikal pria yang bekerja menggunakan fisik. Hidungnya pesek dan bibirnya sedikit tebal. Secara umum dia tidak begitu menarik. Entah apa yang membuat suamiku menjadikannya semacam aspri.

Terkadang aku merasa kesal karena Udin terus menerus menatapku dengan pandangan mesumnya. Tapi, sesekali muncul pikiran gila di otakku. Bagaimana rasanya digumuli lelaki kasar seperti Udin? Soalnya suamiku orangnya lembut, terlalu lembut malah. Walaupun kehidupan seks kami termasuk normal, namun diam diam aku menyimpan fantasi sendiri.

Dan fantasiku semakin menjadi jadi tatkala semenjak membuka usaha perkebunan, suamiku mencurahkan seluruh waktu, tenaga dan perhatiannya di perkebunan. Aku merasa diabaikan. Memang, dari segi financial tidak ada yang perlu dikeluhkan. Namun sebagai wanita dewasa dengan libido yang tinggi, aku butuh pelampiasan lebih ..

Aku jarang ikut suamiku ke perkebunannya. Biasanya dia berangkat Senin pulang Rabu. Lalu, Jumat berangkat lagi pulang Sabtu. Udin  Selalu mendampinginya hampir setiap saat, kecuali kalo Sabtu, suamiku pulang nyetir sendiri, karena Udin tinggal utk berkumpul dengan keluarganya di hari Minggu. Hari Senin, suamiku akan ke perkebunan nyetir sendiri, selanjutnya bagian sopir menyopir akan diambil alih Udin selama minggu itu ..

Malam ini, Udin sedang tidur di kamar belakang, di samping kamar Surti dan Ijah. Kamar utama ada di ruang depan sementara kedua putriku kamarnya di atas. Sekita jam 1 dini hari, aku merasa haus lalu beranjak untuk mengambil minum ke dapur.

Pas mengambil minum, sepintas aku melihat lorong menuju kamar pembantuku sedikit terang. Berarti mereka belum matiin lampu kamarnya. Biasanya mereka kalo tidur matiin lampu. Tapi, ada apa sampai dini hari begini belum tidur?

Penasaran aku berjalan perlahan ke lorong. Ternyata, lampu itu berasal dari kamar Udin, pintu kamarnya sedikit terbuka. Mungkin dia kepanasan atau bagaimana, pikirku sambil berlalu. Tapi, langkahku sontak tertahan ketika mendengar suara desisan. Walaupun pelan, tapi di tengah kesunyian malam, suara itu terdengar. Aku menajamkan telinga, sekarang bukan hanya suara desisan, juga suara dengusan nafas dan derit tempat tidur.

Jantungku berdebar. Secara intuisi aku seolah bisa meraba apa yang sedang terjadi di kamar itu. Tapi, siapa dengan siapa? Dengan mengendap, aku mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka, lalu menjulurkan kepala utk melihat apa yang terjadi di kamar itu ..

Dan aku terperanjat. Di ranjang, dengan jelas terpampang pemandangan yg membuatku sangat terkejut. Nampak Surti digumuli oleh Udin dengan buasnya. Udin sedang menggenjot selangkangan Surti dengan liar. Surti nampak merem melek sambil mengangkangkan kedua belah pahanya. 

Tangannya kadang menggusal rambut Udin kadang mencakar punggungnya.

Surti mengerang keenakan sedang Udin mendengus sambil terus menggoyang pinggulnya, menghunjam selangkangan Surti yang terbuka lebar. Mulutnya menghujani Surti dengan ciuman dan isapan. Kadang mengisap bahkan menggigit buah dada Surti yang membusung, kadang mengisap lehernya dilanjut dengan melumat bibir Surti. Udin melakukannya dengan gerakan cepat menjurus liar. Sepintas seolah Udin sedang memperkosa Surti.

Warna kulit mereka kontras, Udin yang coklat legam sementara tubuh Surti yang putih mulus, membuat pemandangan itu seketika mengundang birahiku ..

Aku tertegun melihat tontonan itu, ada sedikit rasa marah karena mereka telah berani berbuat mesum di rumahku, tapi, rasa hangat yang menjalari tubuhku lebih dominan, sehingga aku membiarkannya saja. Alih alih menegor, sekarang aku malah menonton pertunjukan itu dengan penuh gairah.

Tiba tiba Udin mengerang, tangannya meremas paha putih Surti sambil menekan pinggulnya kuat kuat. Mungkin dia sudah diujung kenikmatannya. Surti pun tidak mau kalah, kakinya semakin dibuka sambil menaikkan pantatnya menyambut ejakulasi Bejo. Persis di puncak kenikmatannya, Udin yang menggoyang goyang kepalanya tiba tiba melihat bayanganku. Mata kami saling menatap ..

Sesaat aku melihat kilat keterkejutan di matanya. Namun kenikmatan yang sedang di puncak membuat mata sayu, lalu, sambil terus memandangku, dia menggeram menumpahkan maninya ke rahim Surti.

Ekspresi wajahnya seolah mengatakan bahwa walaupun kehadiranku begitu mengejutkannya, namun kenikmatan yg hampir mencapai puncaknya tidak boleh batal. Tuntaskan dulu, nanti persoalan liat nanti aja ..

Sebentar kemudian, kepala Udin terkulai di pundak Surti, tapi pandangannya tidak pernah dilepaskan dariku. Seolah terbebas dari hipnotis, tiba tiba aku berbalik lalu melangkah buru buru ke kamarku. Kulihat suamiku masih pulas. Pelahan aku membaringkan tubuh di sampingnya. Perasaanku campur aduk, lalu kupejamkan mata untuk menahan gemuruh perasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya ..

………………………………..

Paginya, seperti biasa aku mempersiapkan perlengkapan sekolah kedua putriku. Suamiku menyalakan mobil bersiap mengantar. Setiap ada waktu, suamiku akan mengantar sendiri kedua buah hati kami ke sekolah. Surti sedang memasak di dapur sedang Ijah Nampak membereskan ruangan di lantai dua. Bejo entah dimana ..

Persis ketika mobil yang disetir suamiku menghilang, aku berbalik bermaksud masuk. Dan, kulihat Udin sedang menatapku dari ruang tengah. Ketika aku lewat di sampingnya, tiba tiba dia berbisik, 

“Bu, maafkan yang semalam ya.”

Sebenarnya aku hendak marah, tapi entah mengapa aku malah membalas bisikannya, “Kamu kan sudah punya istri, kenapa masih menggauli Surti? Kalo dia hamil bagaimana? Dia juga punya suami di kampung?”

“Kami bisa menjaganya Bu, Surti tidak sedang masa subur,” ujar Udin pelan.

Sambil memperlambat langkah, aku kembali bertanya, “Sudah berapa lami kalian melakukan itu?”

“Baru dua minggu belakangan ini Bu,” jawab Udin.

Aku tidak tau mau mengatakan apa lagi, sambil melengos aku beranjak ke dapur untuk melihat masakan Surti. Tak lama, terdengar hp ku berdering, ternyata suamiku. “Ma, aku sekalian liat bibit dulu bentar, mungkin sejam lagi aku balik ya?”

Setelah berbicara beberapa hal, suamiku mematikan hp nya. Aku bermaksud kembali ke dapur. Eh, tadi Udin kemana ya? Aku melongok ke garasi, mungkin dia sedang mempersiapkan sesuatu disana. 

Dia tidak ada ..

Aku kembali merasa penasaran. Kemana anak itu? Apa dia ke atas? Tapi dia tidak pernah kesana, karena kamar atas adalah kekuasaan kedua putriku. Tapi, seolah memastikan, aku naik juga ke lantai dua. Dan apa yang kusaksikan disana membuatku terperanjat ..

Nampak Ijah membungkuk, kedua tangannya bersandar ke kursi. Dia masih pake tshirt, tapi bagian bawahnya sudah tidak memakai apa apa lagi. Sepasang kakinya yang bulat berwarna kuning langsat direntangkan dan .., dari belakang Udin sibuk menggenjot! Udin juga masih pakai kaos tapi tidak pake celana. Kedua tangannya mencengkeram pinggul Ijah, lalu memompa kemaluan Ijah dari belakang.

“Bajingan!” Rutukku dalam hati. Rumahku ternyata sudah seperti tempat mesum, semalam di kamar belakang sekarang malah di ruangan kedua putriku. Tapi, gerakan gerakan Udin yang bertenaga memompa Ijah dari belakang membuatku terbelalak dan seolah melupakan kemarahan dan makian yang hampir kulontarkan.

Pemandangan ini begitu merangsang, Nampak Ijah tidak hanya menyandarkan tangannya, juga meletakkan kepalanya di sandaran kursi. Sepertinya posisi itu membuat tenaganya terkuras. Tapi Udin menahan Ijah tetap berdiri dengan mencengkeram pinggulnya, sesekali menampar dan meremas pantat Ijah, sementara hunjaman kemaluan Udin yang ternyata besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepat ..

Bokong Ijah memang besar dan seksi. Pantat dan pangkal pahanya benar benar montok dan kenyal. Ijah terpental pental ke depan menahan kebuasan sodokan Udin. Sesekali tangan Udin menyelusup ke dalam kaos Ijah, meremas remas susunya.  Ijah hanya bisa merintih panjang pendek diamuk luapan birahi Udin.

Baru sekarang aku melihat kontol Udin yang besar dan panjang. Semalam tidak begitu terlihat, mungkin karena posisinya yang menindih sementara Surti mengaitkan kedua pahanya ke pinggang Udin ..

Udin melenguh panjang sambil menggelengkan kepalanya dan .., kembali kedua mata kami bertaut! Kali ini tidak ada sinar keterkejutan di matanya. Seolah kehadiranku sudah diduganya dan dia telah siap dengan situasi ini.

Kembali aku membalikkan tubuh dan turun dengan buru buru dari atas. Nafasku terengah, ini sudah keterlaluan, umpatku dalam hati. Aku terduduk di ruang tamu, otakku seperti mampet, tidak tau mau berbuat apa. Mestinya sih aku harus melaporkan ini kepada suamiku, tapi entah kenapa opsi itu tidak terlintas sedikitpun di kepalaku. Yang ada malah aku pusing sendiri ..

Tak lama kemudian, kulihat bayangan Udin menuruni tangga. Bukannya berjalan kearah garasi atau dapur, dia malah melewatiku seperti hendak ke teras. Pas di dekatku dia kembali berbisik, “Maafkan aku Bu, aku sudah berusah cepat cepat dan buru buru, tapi Ibu masih menangkap basah kami,” bisiknya pelan ..

“Kau sudah kelewatan, semalam kau sudah menodai rumah ini, sekarang malah melakukannya di ruang ke dua putriku,” entah kenapa, aku juga berbicara setengah berbisik ..

“Maafin aku Bu, tadi Ijah minta tolong dibawain air seember buat ngepel. Pas di atas kami konak. Sudah berusaha cepat biar tidak ketahuan, tapi Ibu keburu naik,” balasnya dengan pelan.

Aku menghela nafas, diam diam tak habis fikir. Kenapa aku tidak bisa marah?

“Ijah juga sudah punya suami di kampung,” tukasku pelan.

“Saya tau Bu, Ijah juga sedang tidak masa subur,” timpalnya.

“Kalo suamiku sampai tau, kalian bisa gawat,” akhirnya keluar juga kata yg sedikit mengancam.

“Makanya aku minta maaf kepada Ibu, tolong jangan dikasih tau,” pintanya.

“Kamu sudah berapa lama dengan Ijah?” tanyaku tanpa merespon permintaannya.

“Sama dengan Surti, baru dua minggu ini Bu,” akunya.

“Sudah, pergi sana, jangan sampai Surti dan Ijah melihat kita mengobrok disini,” usirku.


Udin mengangguk sambil cepat cepat berlalu dari hadapanku.

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar